SuaraTrinusa.com | Bulukumba, 28 September 2024 – Konflik mengenai kepemilikan lahan di Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, kembali mencuat menyusul keputusan pemerintah daerah untuk membatalkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) yang selama ini dimiliki oleh masyarakat adat setempat. Keputusan ini didasari oleh klaim bahwa lahan yang dikelola masyarakat tersebut merupakan bagian dari kawasan konservasi hutan, Taman Hutan Raya (Tahura). Namun, masyarakat adat Bonto Bahari menolak keras keputusan tersebut, karena merasa hak mereka atas tanah ulayat yang telah diwariskan secara turun-temurun tidak diakui.
Perwakilan LSM Triga Nusantara Indonesia (Trinusa), yang mendampingi masyarakat Bonto Bahari, menilai pembatalan SPPT ini sebagai bentuk ketidakadilan.
“Tindakan pembatalan ini dilakukan tanpa adanya musyawarah yang melibatkan masyarakat adat. Ini jelas melanggar hak-hak masyarakat adat sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 Pasal 18B ayat 2, yang mengakui keberadaan dan hak masyarakat adat,” ujar salah satu juru bicara LSM Trinusa.
Masyarakat adat di Bonto Bahari menyatakan bahwa mereka telah mengelola lahan tersebut untuk pemukiman dan pertanian sejak dulu.
“Kami sudah lama tinggal dan mengelola tanah ini, jauh sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Hak historis kami tidak boleh diabaikan,” tegas salah seorang tokoh adat setempat.
Keputusan pemerintah untuk menetapkan lahan tersebut sebagai bagian dari Tahura tanpa memperhitungkan sejarah dan tradisi pengelolaan tanah adat dianggap oleh masyarakat setempat sebagai tindakan yang tidak adil. Mereka khawatir, jika lahan ini diambil alih, dampak ekonomi besar akan dirasakan oleh banyak keluarga yang selama ini menggantungkan hidup dari tanah tersebut.
“Pembatalan SPPT ini bukan hanya soal tanah, tetapi juga tentang mata pencaharian kami. Ini akan memarginalkan masyarakat adat dan menghancurkan sumber penghidupan utama kami,” ungkap seorang warga.
LSM Trinusa Indonesia mendesak pemerintah daerah dan pihak terkait untuk segera membuka ruang dialog guna mencegah potensi konflik yang lebih besar. Mereka mengusulkan agar proses penetapan status kawasan hutan dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat yang tinggal di lahan tersebut.
“Mediasi dan pendekatan kolaboratif adalah solusi terbaik. Kami juga mengusulkan adanya hak kelola bersama atau zona pemanfaatan khusus di dalam kawasan Tahura agar masyarakat adat tetap bisa mengelola tanah mereka tanpa mengabaikan upaya konservasi lingkungan,” jelas pihak LSM.
Baca juga: Di Duga tidak Sesuai Spesifikasi Peningkatan Rekonstruksi Jalan Nasional Pasar Miring – Sei lama.
LSM Trinusa Indonesia berharap pemerintah mematuhi prinsip-prinsip hukum agraria yang menjamin hak ulayat masyarakat adat, serta mendorong solusi yang tidak merugikan masyarakat Bonto Bahari. Dukungan penuh diberikan kepada masyarakat setempat dalam memperjuangkan hak mereka, termasuk melalui jalur hukum jika diperlukan.
Permasalahan ini menarik perhatian publik, terutama terkait dengan program reforma agraria yang menjadi salah satu program Nawacita pemerintah pusat. Presiden telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan (PPTKH), yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum dan menyelesaikan konflik lahan di kawasan hutan.